Danhasil Rapid test sementara sudah 367 yg reaktif. Biasanya yang reaktif ini lebih dari 50 persennya jadi positif. Artinya kita harus siap-siap di beberapa hari ke depan terjadi lonjakan jumlah yg positif. "Tetapi tentu lebih baik menyalakan Lilin daripada kita mengutuk kegelapan".
WARTA KOTA, PALMERAH - “It is better to light a candle than curse the darkness.” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks pemerintahan daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu pemimpin daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam sebuah apel pagi dan berita media lokal, KH DR M Idris Abdul Somad, Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi para peserta apel pagi termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah. Pilkada serentak kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan “mengutuk” kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada dalam hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Musibah jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia Islam kita, tak perlu 'di islah' dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu tidak menunjukan sikap 'Ijabiyah' (positif) dalam menghadapi realita. "Adalah lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuk kegelapan". Lanjut ke konten Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Itu adalah kalimat terindah yang pernah kudengar dalam hidupku. Sebuah kalimat yang kudengar terucap dalam do’a bapakku suatu ketika saat aku tengah pulang beberapa waktu lalu. Kalimat itu juga yang sanggup memberikan penghiburan bagiku setahun lalusampai saat ini setiap kali menghadapi beratnya ujian kehidupan… Kalimat itu juga yang membuatku tetap bertahan dan mampu melanjutkan hidupku yang sempat terasa tak berarti, membuatku menerima dan memaafkan diri sendiri dan bukan terjebak dalam sesal tiada akhir dan tiada guna… Mengutuk kegelapan menyalahkan diri sendiri, orang lain dan keadaan memang amat sangat mudah terlebih saat mengalami sebuah kesulitan, penderitaan, kesedihan, tapi apakah itu membawa manfaat selain bertambahnya beban yang mesti dipanggul? Bukankah akan jauh lebih berguna serta bermanfaat jika mau sedikit berusaha menemukan sebatang lilin untuk dinyalakan? Mungkin tak akan mudah, tapi dari sebaris kalimat dalam do’a bapak yang terucap dengan tulus itu, meyakinkan saya bahwa selalu tersedia sebatang lilin yang bisa dinyalakan setiap saat manakala kegelapan menyaputi jiwa… *sebuah perenungan sederhana mengenang kepergian Steven “Mas Bembem” Hasell setahun yang lalu* Navigasi posKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pernahkah Anda mendengar sebuah perkataan, pendapat atau pemeo yang mengatakan, saat Anda memikirkan bahkan menginginkan sesuatu, tiba-tiba tidak begitu lama, dalam media sosial yang Anda ikuti membahas hal yang sama dengan yang Anda pikirkan. Mungkin Anda menganggap hal ini suatu kebetulan saja, namun secara tidak sadar Anda pasti meng-iyakan hal tersebut. Sebenarnya hal ini sama saat Anda mengalami sebuah masalah, tidak tahu harus memulai darimana untuk menyelesaikan masalah tersebut, membenarkan tindakan juga tidak ada yang percaya, meminta tolong juga tidak ada yang menolong. Saat harus menyalakan lilin dalam diri itulah menjadi tonggak awal Anda bisa menikmati sebuah perjalanan pada pembahasan di atas, atau bahkan yang terjadi beberapa waktu lalu, ada pendapat tentang ketidakinginan memiliki anak, memilih hidup sendiri, lebih menikmati sebuah kesibukan, hal ini adalah hal yang biasa dalam sebuah pilihan. Dalam hubungan antar manusia, sebenarnya orang lain yang ada dalam lingkaran Anda adalah merupakan cerminan Anda. Penggambarannya seperti ini, bila melihat wajah yang berjerawat di cermin, maka yang diobati adalah wajah, dan bukan cerminnya bukan? Dan apa yang terjadi dalam sebuah pilihan hidup Anda secara tidak sadar dipengaruhi oleh apa yang ada dalam lingkungan dan lingkaran hidup Anda. Begitu pula saat melihat kesalahan di orang lain, meskipun terkadang berhasil membuahkan perubahan yang temporer, hal ini sama saja mengobati jerawat di cermin, bukan di wajah Terdapat 4 empat langkah yang bisa dilakukan agar bisa menyalakan lilin tersebut dengan mengacu pada apa yang disampaikan Gede Prama, seorang 'Resi Manajamen' versi Majalah Infobank, sebagai berikutPertama, tidak antiego. Sebenarnya banyak kemajuan yang didorong oleh mesin ego, namun yang harus dijaga adalah saat ego yang berlebihan muncul, karena sangat potensial mematikan lilin dalam paling efektif dari ego adalah kebijakan atau "bijak" yang bisa berasal dari kedewasaan, belajar mendalam tentang agama atau sumber kebijakan lainnya. Bahkan Anda bisa belajar dari orang-orang yang berada di bawah misalnya dalam taraf ekonomi, tukang becak, sopir angkot dan masih banyak lainnya. Dari sini Anda bisa belajar sedikit arif, karena dengan uang yang sedikit mereka masih bisa bersyukur kepada Tuhan. Bahkan dengan penampilan yang sederhana, masih memiliki kepercayaan diri bisa berkomunikasi dengan orang lain, dengan kerut muka hitam dan kotor, masih bisa trsenyum pada orang lain. Baca juga "Possible", Satu Mantra Menuju dalam proses berkomunikasi, sering dikemukakan seseorang bisa dikatakan berhasil bila sudah mencapai tataran "communication with heart".Heart ini pun kalau dirinci berasal dari dua kata, yaitu kata 'hear' dan kata 'art', yang bisa diartikan sebagai seni mendengar. Tentu saja banyak hal yang bisa diperoleh ketika Anda bisa menguasai seni setiap orang memiliki sesuatu yang kecil bagi orang lain, namun sangat besar artinya bagi lilin dalam diri kita akan tampak terang bagi orang lain, apabila kita memberikan our total body language. Contoh mudahnya seperti ini, bila Anda berbicara dalam posisi sedang berdiri, jangan lupa mengarahkan ujung kaki, dada dan muka ke lawan bicara. Atau bila seseorang sudah bercerita tentang hal pribadi, tunjukkan empati Anda, dan juga ajukan pertanyaan, yang bisa membuat orang semakin bangga akan Goldstein dan Jack Kornfield dalam The Path of Deep Meditation, pernah menulisWisdom is not one particular experience, nor a series of ideas or knowledge to be collected. It is an on going process of daripada harus memikirkan berbagai langkah di atas, maka ada hal paling mudah yang bisa dilakukan, yaitu "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan."Semoga sedikit catatan "saat harus menyalakan lilin dalam diri" ini bermanfaat dan bisa memberi makna bahwa apa pun yang terjadi semuanya kembali pada diri kita, baik untuk memulai, belajar atau melakukan instropeksi diri. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Disaat semua terasa buntu, disaat harapan terasa begitu amat jauh... bukan berarti kiamat sudah dekat. Tapi saat itu Alloh sedang mendekat bicaralah padaNYA..."Gusti, please aku mohon bantuanMU". Tidak perlu mendikte Alloh dengan minta ini dan itu, karna Dia maha memahami. Jangan mengeluh, karna itu hanya akan menambah beban berat kinerja otak dan liver. Selalu ingat yang simbok katakan, "lebih baik menyalakan lilin...daripada mengutuk kegelapan"...Gustiku, pagi ini aku sedang emosi jiwa tingkat mohon bantuanMU redakan emosi ini. Lihat Catatan Selengkapnya
Its better to light a candle, than to curse the darkness Mulai hari baru dengan yang positif..
– “It is better to light a candle than curse the darkness” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks Pemerintahan Daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu Pemimpin Daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan Pemerintahannya. Dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat, KH DR M. Idris Abdul Somad Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi masyarakat yang hadir termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah yang akan dilantik di daerahnya masing-masing. Pilkada serentak, kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan ?mengutuk? kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada di hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Padahal agama telah mengajarkan kita bahwa Beruntunglah orang yang disibukkan dengan mengintrospeksi aib dirinya sehingga tidak sempat mencari-cari aib saudaranya. Mengutuk, meratapi, mengeluh, menyalahkan atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang mudah dilakukan. Tapi persoalannya kini, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Jika di suatu malam listrik di rumah kita mati apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan menggerutu dan mengutuk PLN yang melakukan pemadaman? Jika begitu, apa kondisi berubah? Tentu tidak, yang ada kita capek sendiri. Tentu yang harus kita lakukan adalah menyalakan lilin. Walaupun tak seterang lampu, tapi setidaknya dengan menyalakan lilin kita masih bisa melihat seisi ruangan walau redup. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan mengutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Menyalakan lilin mungkin contoh yang sederhana, simple dan tak terlalu merubah banyak. Tapi setidaknya berkontribusi memberikan cahaya di tengah kegelapan. Dalam hidup pun rasanya kita harus memberikan cahaya walau bentuknya sederhana, entah lewat tenaga, materi, atau ide. Mari kita sambut kiprah para pemimpin daerah dengan menjadikan diri kita masing-masing sebagai lilin-lilin yang mampu menerangi bagian dari ruang kerja dan kehidupan yang sesuai kapasitas dan sekuat kemampuan yang kita miliki. Insya Allah dari satu lilin, seratus atau seribu lilin tersebut bisa menerangi seluruh ruang hidup kita. Mengutuk kegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah pengapnya suasana hati. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa salah satu kunci kebahagian hati di dunia adalah dengan selalu pandai bersyukur. Sikap syukur yang paling sederhana, mudah, ringan tapi agak sulit dilakukan adalah ?tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun di semua lini kehidupan kita?. Muhammad Fahmi, ST, MSi Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta UNJ Master of Ceremony MC, Trainer Publik Speaking/Kehumasan Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati fahmizidane2003 WA 08158228009Sebuahpepatah mengatakan "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Daripada kita mengutuk kegelapan dengan terus-terusan menyalahkan kaum alay yang merusak sistem tata bahasa kita melalui 'kreativitas' mereka atau dengan terus - terusan menggerutu lantaran generasi muda kita menulis dan berbicara ala gaul di tengah
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk It is better to light a candle than curse the darkness. Eleanor Roosevelt "First Lady" dan kolumnis dari Amerika Serikat 1884-1962UfJAEP.