Mengutukkegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah pengapnya suasana hati. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Karena itu sungguh sebuah pelajaran yang sangat berharga yang diajarkan oleh Amirul Mukminin Umar Bin Abdul Aziz yang menasehati putranya :
ALAT bangun peradaban dalam dunia ketiga adalah satu, sadar baca-tulis. Sentuhan jemari dalam tulisan ini akan bermuara pada satu pembahasan, menggagas ke depan. Apa yang perlu digagas? Siapa yang harus mengawal? Agaknya tulisan ini Sedikit terdengar seperti nada bicara seorang pengidap asma yang berbau utopis. Tidak masalah. Bukankah perubahan-perubahan besar dalam dunia praktis berawal dari ide dan pemikiran; gagasan dan kemauan besar untuk berubah dan mewujudkan. Steve Covey aku-lirik dengan kalimatnya yang seperti berbau sarkasme tercium seperti berikut, “Apa yang akan kau tinggalkan di antara kedua patok nisanmu?”, atau kutipan dari penyair nasional dari Jombang, Sabrank Suparno dengan puisinya yang berucap, “Penulis tak akan lenyap dari dunia, sebaliknya dunia bisa lenyap dalam diri penulis.” Maka tamsil yang lahir dari kedua kutipan tersebut adalah hal sangat mungkin bila kita kontekskan bagi masyarakat Nahdlatul Ulama NU dalam upaya pengembangan kebudayaan dan peradaban. Pendek kata, warga NU sudah semestinya kembali dan kembali memaksimalkan sadar baca-tulis, SABTU. Sebab hal ini secara umum akan menjadi wasilah kebudayaan yang berpotensi mengangkat inteligensi dalam peradaban manusia. Tentu kekuatan pergulatan budaya Sabtu memiliki filosofi yang menghistoris. Pentingnya budaya baca-tulis dalam kehidupan NU menjadi tantangan dan peluang besar yang –mungkin—akan berkontribusi atas perubahan kebudayaan di Indonesia. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari misalnya, aku-lirik memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang luar biasa. Mengapa kita tidak membaca dan menulis? Kita sering mengagumi beliau tetapi lupa mengikuti kebiasaan beliau yang luar biasa dampaknya terhadap peradaban Islam dan Indonesia. Berkaca pada Jepang, Eko Laksono dalam banyak tulisannya berucap, “Bangsa Jepang adalah pembaca terhebat di dunia. Elizabeth I, Napoleon, Hitler, Carnegie, Akio Morita, dan Bill Gates semuanya pembaca.” Di Jepang, antara pemerintah, sekolah, masyarakat, dan keluarga bergerak bersama untuk membudayakan baca-tulis. Tradisi ujian nasional misalnya, di Jepang justru merupakan budaya yang dinanti bukan sebaliknya dipersoalkan. Saat itulah, maka anak-anak usia 12-13 tahun belajar keras sampai larut malam, sampai-sampai tidur dalam semalam hanya 2-3 jam per hari. Itu pun, berlangsung hampir tiga bulan. Ujian nasional di Jepang dikenal dengan nama Shiken Jigoku Neraka Ujian. Belum lagi, ibu-ibu di Jepang meskipun mereka terdidik rata-rata sarjana bahkan sampai bergelar doktor, lebih memilih mendampingi anak-anak belajar di rumah. Di Jepang dikenal dengan apa yang disebut Kyoiku Mama Ibu Pendidikan. Mereka akan meneliti dengan cermat apa yang telah dipersiapkan, dilakukan, dan dihasilkan oleh anak-anaknya. Mereka mempelajari bahan-bahan pelajaran sekolah dan mendampingi anak. Mari belajar budaya baca-tulis bangsa Jepang. maka ada pokok-pokok pengalaman yang aku-lirik sangat menarik. Pertama, budaya membaca di Jepang luar biasa. Indikasinya, banyak toko buku yang tersebar. Ini terkait dengan sifat tekun, pekerja keras, dan keinginan untuk selalu belajar. Jumlah toko buku di Jepang sama banyaknya dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat AS. Ironisnya, negeri adidaya itu 26 kali lebih luas dan dua kali berpenduduk lebih banyak daripada Jepang. Kedua, kuatnya tradisi belajar dan membaca. Keinginan selalu belajar telah tertanam kuat pada warga Jepang. Ini didasarkan pada kebiasaan i sifat selalu memperbaiki hasil kerja, dan ii adanya budaya baca-tulis yang mengakar besar di Jepang. Negeri Sakura menyediakan banyak fasilitas membaca di tempat umum. Di stasiun, bus umum, kereta, atau halte, antre di kantor-kantor pelayanan masyarakat, mudah ditemui orang-orang yang beraktivitas membaca. Ketiga, kuatnya dukungan fasilitas membaca. Fasilitas baca-tulis mudah dijangkau oleh warga Jepang. Kebahagiaan bagi penulis dan penerbit buku. Ternyata, sesuai dengan data yang dirilis Bunka News, jumlah toko buku bekas menempati persentase sepertiga di antara total jumlah toko buku di Jepang. Keberadaannya dinilai sebagai penolong bagi para peminat buku. Keempat, keluarga sebagai penyangga tradisi baca-tulis. Sebagaimana telah disinggung di awal, bahwa orang tua di Jepang khususnya ibu mendampingi dan ikut mempelajari apa yang sedang dipelajari anaknya. Alangkah indahnya jika ini terjadi di Indonesia. Kelima, penghargaan yang tinggi oleh pemerintah dan masyarakat. Kondisi demikian menjadi sangat penting mengingat budaya baca-tulis Jepang itu telah mengakar dari atas ke bawah. Baik itu pemimpin, birokrat, guru, dosen, artis, dan pelaku seni lainnya; semuanya memiliki kecintaan yang sama terhadap budaya baca-tulis. Belajar dari pengalaman inspiratif negara Jepang maka merindukan tradisi Sabtu, di kalangan NU menjadi mimpi besar yang membutuhkan dukungan semua pihak. Semua elemen, semua unsur, dan semua aspek yang ada di NU. Mimpi besar budaya ini tentu secara historis bersifat Islami dan secara global merupakan tuntutan zaman yang tidak bisa dihindari. Membudayakan baca-tulis yang aku-lirik sesungguhnya tidaklah sulit mengingat keduanya merupakan keterampilan. Kemahiran sebuah keterampilan hanyalah hukum kali dari berapa sering kita melakukannya. Akselerasi kemahiran baca-tulis dengan sendirinya menuntut frekuensi optimal jika menginginkan hasilnya maksimal pula. Masyarakat berbudaya baca-tulis akan menjadi aset besar bagi suatu bangsa. Maka mari menyalakan lilin berawal dari ide dan pemikiran; gagasan dan kemauan besar untuk berubah dan mewujudkan. Daripada mengutuk kegelapan NU dengan anggapan-anggapan basis NU hanya pada kegiatan-kegiatan spiritual-spiritual semata; pengajian demi pengajian, dan lain-lain yang mengakar rumput lainnya. Mari nyalakan! * * Aktivis rebahan di PASCA Tahfidzul Qur’an Sukorejo.
Seperti pepatah China yang mengatakan lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan," sambung Prof. Fathul Wahid, S.T, M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya pada sesi pembukaan, Senin siang (2/8). TIK adalah life savior atau penyelamat hidup khususnya di masa pandemi yang menekankan efektivitas lebih utama daripada kesempurnaan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Betapa mudahnya kita mengutuk, tinggal menyebutkan beberapa suku kata yang masuk blacklist akismet atau filter yahoo maka jadilah kita pengutuk sejati. Objeknya beraneka ragam, mulai dari pekerjaan yang menumpuk , gaji yang telat dibayar, didahului mantan merit kalau istilah Makassar nya dilambung kiri pas belokan tidak pake riting dan weser, hujan, cucian belum kering, macet, becek, gak ada ojek, dan lain sebagainya. Pokoknya segala rupa masalah yang kita hadapi sehari-hari mulai dari masalah yang berat dan membuat otak koslet sampai urusan remeh temeh misalnya sakitnya bulu hidung ketika dicabut. Yap, semua hal berpotensi untuk kita keluhkan. Mengutuk, meratapi, mengeluh atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang menyenangkan. banyak orang merasa lepas dan lega setelah mengeluarkan semua kosakata itu dari mulutnya. Tapi tunggu dulu, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Dalam suatu masalah, kita sering mencari-cari kambing hitam dari adanya masalah itu. Dengan demikian, kita bisa lari dan lepas diri dari masalah. Bukan solusi, malah bisa menambah masalah baru. Dalam sebuah ujian atau musibah, kita sering menyalahkan kondisi, menyalahkan diri sendiri, dan orang lain. Dan, sering terlarut dari suasana kegelapan ujian atau musibah itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Seorang bijak pernah berkata would rather light a candle than curse the darkness [1962 Adlai Stevenson in New York Times 8 Nov. 34] Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Sebuah kalimat lugas yang diucapkan oleh Adlai Stevenson yang dialamatkan untuk Eleanor Roosevelt begitu sarat akan makna. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan merutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Lihat Pendidikan Selengkapnya

Danhasil Rapid test sementara sudah 367 yg reaktif. Biasanya yang reaktif ini lebih dari 50 persennya jadi positif. Artinya kita harus siap-siap di beberapa hari ke depan terjadi lonjakan jumlah yg positif. "Tetapi tentu lebih baik menyalakan Lilin daripada kita mengutuk kegelapan".

WARTA KOTA, PALMERAH - “It is better to light a candle than curse the darkness.” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks pemerintahan daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu pemimpin daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam sebuah apel pagi dan berita media lokal, KH DR M Idris Abdul Somad, Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi para peserta apel pagi termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah. Pilkada serentak kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan “mengutuk” kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada dalam hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Musibah jahiliyah, kekalahan yang sekarang merajalela di seantero dunia Islam kita, tak perlu 'di islah' dengan kutukan ataupun ratapan. Sebab kedua tindakan itu tidak menunjukan sikap 'Ijabiyah' (positif) dalam menghadapi realita. "Adalah lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuk kegelapan". Lanjut ke konten Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Itu adalah kalimat terindah yang pernah kudengar dalam hidupku. Sebuah kalimat yang kudengar terucap dalam do’a bapakku suatu ketika saat aku tengah pulang beberapa waktu lalu. Kalimat itu juga yang sanggup memberikan penghiburan bagiku setahun lalusampai saat ini setiap kali menghadapi beratnya ujian kehidupan… Kalimat itu juga yang membuatku tetap bertahan dan mampu melanjutkan hidupku yang sempat terasa tak berarti, membuatku menerima dan memaafkan diri sendiri dan bukan terjebak dalam sesal tiada akhir dan tiada guna… Mengutuk kegelapan menyalahkan diri sendiri, orang lain dan keadaan memang amat sangat mudah terlebih saat mengalami sebuah kesulitan, penderitaan, kesedihan, tapi apakah itu membawa manfaat selain bertambahnya beban yang mesti dipanggul? Bukankah akan jauh lebih berguna serta bermanfaat jika mau sedikit berusaha menemukan sebatang lilin untuk dinyalakan? Mungkin tak akan mudah, tapi dari sebaris kalimat dalam do’a bapak yang terucap dengan tulus itu, meyakinkan saya bahwa selalu tersedia sebatang lilin yang bisa dinyalakan setiap saat manakala kegelapan menyaputi jiwa… *sebuah perenungan sederhana mengenang kepergian Steven “Mas Bembem” Hasell setahun yang lalu* Navigasi pos
PNPMMandiri Perkotaan "Daripada terus menerus mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin untuk menerangi sekeliling kita," tegas Kepala Bappeda Kota Bitung Audy Pangemanan saat memberikan materi "Good Governance" dalam acara Lokakarya Tingkat Kota di Aula Kantor Walikota Bitung Lantai IV, pada Kamis, 22 November 2012.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pernahkah Anda mendengar sebuah perkataan, pendapat atau pemeo yang mengatakan, saat Anda memikirkan bahkan menginginkan sesuatu, tiba-tiba tidak begitu lama, dalam media sosial yang Anda ikuti membahas hal yang sama dengan yang Anda pikirkan. Mungkin Anda menganggap hal ini suatu kebetulan saja, namun secara tidak sadar Anda pasti meng-iyakan hal tersebut. Sebenarnya hal ini sama saat Anda mengalami sebuah masalah, tidak tahu harus memulai darimana untuk menyelesaikan masalah tersebut, membenarkan tindakan juga tidak ada yang percaya, meminta tolong juga tidak ada yang menolong. Saat harus menyalakan lilin dalam diri itulah menjadi tonggak awal Anda bisa menikmati sebuah perjalanan pada pembahasan di atas, atau bahkan yang terjadi beberapa waktu lalu, ada pendapat tentang ketidakinginan memiliki anak, memilih hidup sendiri, lebih menikmati sebuah kesibukan, hal ini adalah hal yang biasa dalam sebuah pilihan. Dalam hubungan antar manusia, sebenarnya orang lain yang ada dalam lingkaran Anda adalah merupakan cerminan Anda. Penggambarannya seperti ini, bila melihat wajah yang berjerawat di cermin, maka yang diobati adalah wajah, dan bukan cerminnya bukan? Dan apa yang terjadi dalam sebuah pilihan hidup Anda secara tidak sadar dipengaruhi oleh apa yang ada dalam lingkungan dan lingkaran hidup Anda. Begitu pula saat melihat kesalahan di orang lain, meskipun terkadang berhasil membuahkan perubahan yang temporer, hal ini sama saja mengobati jerawat di cermin, bukan di wajah Terdapat 4 empat langkah yang bisa dilakukan agar bisa menyalakan lilin tersebut dengan mengacu pada apa yang disampaikan Gede Prama, seorang 'Resi Manajamen' versi Majalah Infobank, sebagai berikutPertama, tidak antiego. Sebenarnya banyak kemajuan yang didorong oleh mesin ego, namun yang harus dijaga adalah saat ego yang berlebihan muncul, karena sangat potensial mematikan lilin dalam paling efektif dari ego adalah kebijakan atau "bijak" yang bisa berasal dari kedewasaan, belajar mendalam tentang agama atau sumber kebijakan lainnya. Bahkan Anda bisa belajar dari orang-orang yang berada di bawah misalnya dalam taraf ekonomi, tukang becak, sopir angkot dan masih banyak lainnya. Dari sini Anda bisa belajar sedikit arif, karena dengan uang yang sedikit mereka masih bisa bersyukur kepada Tuhan. Bahkan dengan penampilan yang sederhana, masih memiliki kepercayaan diri bisa berkomunikasi dengan orang lain, dengan kerut muka hitam dan kotor, masih bisa trsenyum pada orang lain. Baca juga "Possible", Satu Mantra Menuju dalam proses berkomunikasi, sering dikemukakan seseorang bisa dikatakan berhasil bila sudah mencapai tataran "communication with heart".Heart ini pun kalau dirinci berasal dari dua kata, yaitu kata 'hear' dan kata 'art', yang bisa diartikan sebagai seni mendengar. Tentu saja banyak hal yang bisa diperoleh ketika Anda bisa menguasai seni setiap orang memiliki sesuatu yang kecil bagi orang lain, namun sangat besar artinya bagi lilin dalam diri kita akan tampak terang bagi orang lain, apabila kita memberikan our total body language. Contoh mudahnya seperti ini, bila Anda berbicara dalam posisi sedang berdiri, jangan lupa mengarahkan ujung kaki, dada dan muka ke lawan bicara. Atau bila seseorang sudah bercerita tentang hal pribadi, tunjukkan empati Anda, dan juga ajukan pertanyaan, yang bisa membuat orang semakin bangga akan Goldstein dan Jack Kornfield dalam The Path of Deep Meditation, pernah menulisWisdom is not one particular experience, nor a series of ideas or knowledge to be collected. It is an on going process of daripada harus memikirkan berbagai langkah di atas, maka ada hal paling mudah yang bisa dilakukan, yaitu "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan."Semoga sedikit catatan "saat harus menyalakan lilin dalam diri" ini bermanfaat dan bisa memberi makna bahwa apa pun yang terjadi semuanya kembali pada diri kita, baik untuk memulai, belajar atau melakukan instropeksi diri. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya
Sekedarinfo nich, kalau prinsip hidupku itu "Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung Terang".Ok.. saya akan berikan ilustrasi dari satu kasus yang sama tapi orang yang berbeda. Misalkan 2 hamba yang ingin menyembah Tuhan yang dimana keduanya memiliki kemampuan yang berbeda, kita sebut saja si AWWAM dan si ALIM.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Disaat semua terasa buntu, disaat harapan terasa begitu amat jauh... bukan berarti kiamat sudah dekat. Tapi saat itu Alloh sedang mendekat bicaralah padaNYA..."Gusti, please aku mohon bantuanMU". Tidak perlu mendikte Alloh dengan minta ini dan itu, karna Dia maha memahami. Jangan mengeluh, karna itu hanya akan menambah beban berat kinerja otak dan liver. Selalu ingat yang simbok katakan, "lebih baik menyalakan lilin...daripada mengutuk kegelapan"...Gustiku, pagi ini aku sedang emosi jiwa tingkat mohon bantuanMU redakan emosi ini. Lihat Catatan Selengkapnya

Lebihbaik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Hujan deras adalah tantangan. Jangan minta agar hujan dikecilkan, tapi mintalah payung yang lebih besar. Waktu banjir, ikan makan semut dan waktu banjir surut, semut yang makan ikan; Hidup bukanlah peduli dipermulaan saja, tapi seberapa besar kepedulian kita sampai akhir.
Lilin dan Kegelapan By Dimas Prakoso “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.” – Eleanor Roosevelt Mengutuk kegelapan terkadang hanya dilakukan oleh orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk mengeluh tanpa ada aksi lebih lanjut. Lebih baik skip waktu untuk mengeluhnya dan mulai bertindak dengan menyalakan lilin. Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah dan memberikan apa yang kita inginkan, soalnya. Terima kasih telah mengingatkan tentang ini, Eleanor Roosevelt.
\n lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan

Its better to light a candle, than to curse the darkness Mulai hari baru dengan yang positif..

– “It is better to light a candle than curse the darkness” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks Pemerintahan Daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu Pemimpin Daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan Pemerintahannya. Dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat, KH DR M. Idris Abdul Somad Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi masyarakat yang hadir termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah yang akan dilantik di daerahnya masing-masing. Pilkada serentak, kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan ?mengutuk? kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada di hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Padahal agama telah mengajarkan kita bahwa Beruntunglah orang yang disibukkan dengan mengintrospeksi aib dirinya sehingga tidak sempat mencari-cari aib saudaranya. Mengutuk, meratapi, mengeluh, menyalahkan atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang mudah dilakukan. Tapi persoalannya kini, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Jika di suatu malam listrik di rumah kita mati apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan menggerutu dan mengutuk PLN yang melakukan pemadaman? Jika begitu, apa kondisi berubah? Tentu tidak, yang ada kita capek sendiri. Tentu yang harus kita lakukan adalah menyalakan lilin. Walaupun tak seterang lampu, tapi setidaknya dengan menyalakan lilin kita masih bisa melihat seisi ruangan walau redup. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan mengutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Menyalakan lilin mungkin contoh yang sederhana, simple dan tak terlalu merubah banyak. Tapi setidaknya berkontribusi memberikan cahaya di tengah kegelapan. Dalam hidup pun rasanya kita harus memberikan cahaya walau bentuknya sederhana, entah lewat tenaga, materi, atau ide. Mari kita sambut kiprah para pemimpin daerah dengan menjadikan diri kita masing-masing sebagai lilin-lilin yang mampu menerangi bagian dari ruang kerja dan kehidupan yang sesuai kapasitas dan sekuat kemampuan yang kita miliki. Insya Allah dari satu lilin, seratus atau seribu lilin tersebut bisa menerangi seluruh ruang hidup kita. Mengutuk kegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah pengapnya suasana hati. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa salah satu kunci kebahagian hati di dunia adalah dengan selalu pandai bersyukur. Sikap syukur yang paling sederhana, mudah, ringan tapi agak sulit dilakukan adalah ?tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun di semua lini kehidupan kita?. Muhammad Fahmi, ST, MSi Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta UNJ Master of Ceremony MC, Trainer Publik Speaking/Kehumasan Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati fahmizidane2003 WA 08158228009

Sebuahpepatah mengatakan "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Daripada kita mengutuk kegelapan dengan terus-terusan menyalahkan kaum alay yang merusak sistem tata bahasa kita melalui 'kreativitas' mereka atau dengan terus - terusan menggerutu lantaran generasi muda kita menulis dan berbicara ala gaul di tengah

Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk It is better to light a candle than curse the darkness. Eleanor Roosevelt "First Lady" dan kolumnis dari Amerika Serikat 1884-1962
UfJAEP.
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/442
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/1
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/25
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/89
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/180
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/387
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/417
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/731
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/892
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/343
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/202
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/487
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/685
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/440
  • uaq5lc5zzd.pages.dev/569
  • lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan